Selamat Datang Di Blog Pustaka Mallawa
Terima kasih atas kunjungan Anda di blog Pustaka Mallawa,
semoga apa yang saya share di sini bisa bermanfaat dan memberikan motivasi pada kita semua
untuk terus berkarya dan berbuat sesuatu yang bisa berguna untuk orang banyak.

SEJARAH FILSAFAT NILAI

SEJARAH FILSAFAT NILAI 

 “Filsafat Nilai”,meliputi: Sejarah perkembangan Filsafat dan Nilai, objek dan subjek nilai serta nilai kuantintas dan nilai kualitas. Mengenai sejarah perkembangan filsafat dan nilai, seperti filsafat nilai. Adapun perkembangan filsafat nilai secara non formal berkembang sejak zaman Heraklitos,permenides, Hipias, Gorgias sampai kepada perkembangan filsafat abad pertengahan dan modern yang melatar belakangi munculnya filsafat nilai di awal abad ke-19. Perkembangan selanjutnya memasuki wilayah kajian sumber nilai, nilai subjek dn objektis dan nilai yang berkuantitas dan kualitas.

SEJARAH FILSAFAT NILAI 

Munculnya Filsafat Nilai Masalah eksistensi dan esensi alam, manusia dan Tuhan atau yang ada dan mungkin ada sebagai objek nilai menjadi fokus dalam pengajian para filosof sejak dahulu kala. Antara lain yang pertama sekali mengemukakannya adalah seorang filosof kenamaan Yunani yakni Thales (624-546 SM). Sebagai bapak filsafat kelahiran Miletus negara bagian Yunani, pertama ia mengajukan sebuah pertanyaan yang relevan dengan ada dan Ada (pengada pertama) yaitu“What is the nature of world stuf“? (apa sebenarnya bahan alam semesta itu?). Pertanyaan ini ditemukan jawabanya oleh Thales bahwa bahan atau sesuatu itu adalah “air”. Secara aksiologis apakah air mempunyai nilai objektif atau subjektif. Mungkinkah air bernilai meskipun tanpa epistemolog dan ontolonginya? Atau apakah air termasuk kategorisasi nilai atau tidak bernilai? Perkembangan selanjutnya sekitar pada tahun 500-an SM muncul buah pikiran baru, atau filsafat baru dari seorang ahli pikir yang berusaha keras untuk memutar otaknya dan sempat mengagetkan bahkan menggegerkan orang awam. Hal ini dilontarkan oleh Heraklitos dalam filsafatnya “bahwa sesungguhnya yang ada, yang hakikat ialah gerak dan perubahan (Pantarei)“ (K.Bertens, 1998:35). Penggerak pertama memberikan nilai guna dan manfaat atas segala fungsinya. Ataukah gerak dan perubahan itu juga mengandung nilai atau nihil. Perkembangan kecemerlangan pemikiran kedua filsosof tersebut (Thales-Heraklitos) sungguh telah mempromosikan dan memperlihatkan aksiologi kehebatan akal manusia. Kekaguman terhadap aksiologi kemampuan rasional manusia ini semakin ramai ketika munculnya Zeno (lahir tahun 490 SM) sebagai tokoh pertama yang mengajarkan ajaran kebenaran, dan kebenaran itu mampu ditangkap oleh intelek manusia. Teori kebenaran yang diajarkan oleh Zeno adalah bagaimana mencari kebenaran itu melalui metode dialektika (Abdullah, 2002:13). Munculnya metode dialektika ini memicu munculnya ajaran sofisme. Ia berhasil membuktikan bahwa segala yang bergerak, yang ada serta ruang kosong itu semuanya tidak ada. Belum lagi ketika munculnya Socrates sebagai bapak yang bijak walaupun secara fisik beraut jelek, namun perilaku yang bijak menyelamatkan manusia dan meluruskan otak para sofis-sofisme yang dianggap telah merusak pemikiran pemuda Athena. Dengan munculnya Socrates di permukaan sebagai ahli dalam mengajarkan cara mencari kebenaran, membuat sakit kuping, geger otak dan merasa gelisah bagi kalangan polish Athena dari satu sisi. Konsekuensi dari gerakan aksiologis kefilsafatan yang dilancarkan oleh Socrates itu mendapat kecaman dan tuduhan keras dari pemerintah Yunani bahwa Socrates telah melakukan tindakan yang merusak otak dan masa depan para pemuda Athena. Tuduhan yang dialamatkan oleh pemerintah kepadanya karena telah dengan sengaja membentuk kelompok-kelompok separatis, sebagai wadah dialog antara pemuda dengan pemuda lain. Tujuan dari pembentukan kelompok ini adalah mengajarkan tentang bagaimana cara mencari kebenaran dengan menggunakan metode dialektika. Metode dialektika ini dapat diaplikasikan dengan berdasar pada konsep filsafat aksiologi tentang apakah dalam dialektika itu mengandung nilai atau nihil. Hal inilah sehingga Socrates menjadikan dialektika sebagai metode pencarian kebenaran. Metode dialektika bagi Socrates adalah suatu metode yang mengandung nilai manfaat bagi seluruh pencari kebenaran. Sayangnya proses pencarian kebenaran melalui metode dialektika itu, berjalan belum sampai batas dan berlayar belum sampai samudra kepuasan, bahkan dirasa belumlah tuntas oleh para penggemar filsafat saat itu, sebab sang guru yang menggembleng mereka keburu menemui takdir yang tragis meskipun Socrates menganggap itulah yang terbijak dan kearifan. Namun di akhir perjalanan hidupnya, Socrates mendapat kenyataan menyedihkan, dia meminum racun sebagai alternatif jitu untuk mempertahankan kebenaran. Dengan cara meminum racun bagi Sang Filosof (Socrates), menjadi bahan renungan bagi kalangan orang awam saat itu (Abdullah, 2002:37). Bersamaan dengan itu mereka mulai bimbang dan ragu terhadap kebenaran yang sebenarnya. Apakah kebenaran itu berada pada diri individu yang subyektif atau pada diri universal yang obyektif. Pertanyaan kemudian apakah dengan cara meminum racun bagi Sang bijaksanawan adalah sebuah konsep yang bernilai bagi dirinya atau juga merupakan nilai bagi yang lain. Secara substansial bahwa meminum racun megandung nilai konsistensi dan kejujuran serta menjadi pelajaran bagi para pengagumnya, bahwa cara pembelaan dengan menggunakan cara tidak bijak adalah pelanggaran dan otomatis tidak memberikan nilai teleologis kepada generasi pelanjut. Perkembangan selanjutnya ketika munculnya keraguan terhadap berbagai nilai kebenaran yang muncul, menyebabkan pemikiran manusia pada saat itu mengalami kegoncangan. Kegoncangan itu membuat mereka selalu melahirkan teori pencarian nilai kebenaran melalui metode dialektika (tesa-antitesa-sintesa). Dari perkembangan pemikiran manusia selanjutnya selalu melahirkan aksiologi pemikiran filsafat yang relatif adanya, hal ini disebabkan oleh ciri kebenaran dalam filsafat yang relatif pula. Dalam perkembangannya, filsafat selalu mengalami perubahan yang antitesis–sintesis dan tesis. Untuk menelusuri perkembangan pemikiran filsafat nilai yang sintesis-dan antitesis dari berbagai macam aspek baik ontologis, epistemologis maupun axiologisnya serta tokoh-tokoh (filosof-filosof) yang berpengaruh pada setiap zamannya dibutuhkan penguasaan dan ketajaman analisis hirarki historis. Terutama mengenai periodesasi perkembangan filsafat yang historik dan sistematis. Nilai-nilai kehidupan orang Greek (Yunani) dahulunya lebih banyak percaya pada tahayul dan dongeng. Mereka percaya pada dongeng-dongeng ini disebabkan oleh adanya keajaiban dari alam itu sendiri, sehingga terkadang membuat mereka kagum, takut dan heran sehingga dari situlah mereka menganggap bahwa dongeng-dongeng yang dipercaya adalah sangat bernilai bagi kehidupan mereka. Dengan perasaan dan alasan seperti ini mereka menganggap bahwa keajaiban yang terdapat pada alam realitas ini penuh dengan nilai estetika dan etika yakni terdapatnya dewa-dewa serta biduanda dan bidadarinya yang sejenis, serta dengan bermacam-macam jenis dan namanya. Setelah itu lama kelamaan timbul “Fantasi” cetakan pikiran yang menjadi barang peradaban manusia bermula (Fuad Hasan, 2000: 67). Karena itu manusia adalah makhluk yang berpikir atau dia dapat berfilsafat dengan cara melakukan perenungan yang mendalam tentang berbagai kejadian alam ini sebagaimana disebutkan dalam Alquran Surat Ali Imran (3):190-191. 

 Terjemahnya: 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. 

Ayat di atas menjelaskan bahwa mesekipun seseorang Yang dihadirkan di Negara Yunani tetapi Islam dating menjelaskan dan mengiformasikan bahwa aka nada sekelompok orang yang selalu cenderung mengkaji sejumlah ciptaan Tuhannya. Aksiologi dari beberapa dongeng dan takhyul bagi orang Yunani adalah penerimaan terhadap nilai-nlai yang ajaib sehingga mereka senantiasa berangan-angan terhadap nilai estetika atau sesuatu yang indah-indah, yang menjadikan dasar bagi mereka untuk mencari pengetahuan yang semata-mata hanya untuk mencari tahu saja. Dengan seringnya melihat keajaiban pada alam, maka mereka senantiasa mengajukan pertanyaan dalam hati “dari mana datangnya kejadian di alam ini” Mengapa kita begini, bagaimana kemajuan dan kemana sampainya kemudian apakah semuanya mengandung nilai atau bagaimana” Setelah bertahun-tahun keberadaan dan perubahan demi perubahan dan perkembangan pada alam itu, membuat orang-orang Yunani terpikat olehnya. Sehingga dibalik kebesaran alam tersebut juga terdapat alam yang lebih kecil dan kompleks, sehingga mereka cenderung memandang dirinya sebagai “Microcosmos.” Atas dasar itu, muncul pertanyaan tentang alam kecil yang ada dalam dirinya. Bagi mereka alam kecil itu merupakan alam lahirnya. Keyakinan seperti ini membuat mereka selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: “apa wujud lahirku, apa kewajibanku? Bagaimana seharusnya sikapku yang bernilai dan dimana seharusnya aku dapatkan nilai kebahagiaan? (Ahmad Tafsir, 2000: 27). Dengan dasar itulah muncul keinsafan dalam diri mereka tentang kewajiban hidup dan bertindak etik. Ternyata pada pandangan mereka terutama orang Yunani dahulu kala menyimpulkan bahwa segala peristiwa dan kejadian itu pada pokoknya hanya satu yaitu kebenaran (Fuad Hasan, 2000: 43). Alasannya adalah untuk melihat nilai fenomena atau nilai gejala alam seperti itu (berbagai bencana dan keteraturan serta keindahan alam). Ilmu dan cara pandangnya serta metodenya adalah satu saja yaitu ingin tahu karena ia cinta pada pengetahuan sehingga diberilah dengan nama atau istilah “Philosopia” Philosophia artinya “cinta akan pengetahuan” atau pengetahuan tentang hikmah” (Fil dan Safah) (Zuhairani, 1992: 3) Sebagaimana kebiasaannya, orang-orang Greek memandang alam itu dengan sebulat-bulatnya, sehingga hampir seluruh filosof Greek memiliki ahli dalam dunia perfilsafatan juga memiliki dan mempelajari segala macam ilmu pengetahuan. Karena penguasaan terhadap ilmu pengetahuan itu mereka selalu cinta untuk mencari nilai kebenarannya. Dengan pencarian yang sebenarnya inilah sehingga selalu disebut “Filosof”. Bagi orang yang mendalami dunia filsafat setidak-tidaknya mereka tidak pernah puas dan ada penghabisannya. Sehingga dalam hidupnya, ia menghabiskan waktu untuk mencari dan mencari serta selalu mengajukan beberapa pertanyaan dengan metode (dialektika. Beberapa bentuk dialektikanya sebagai berikut;“Apakah barang yang lahir itu merupakan barang yang sebenarnya atau hanyalah bayangan dari sifat atau pokok yang lebih mendalam letaknya? (Plato) (Fuad Hasan, 2000:87). Ada juga filosof yang mengumpamakan dunia luar “Merupakan kiasan dari dunia yang asli karena dunia yang asli itu “Aperium” yang tak pernah berkeputusan (Anaxsimandros). Bahkan terdapat pula filosof memandang dunia ini hanyalah ikatan jiwa, maksudnya sebagian kita tiada lain daripada udara, menyatukan tubuh kita demikian pula Udara mengikat dunia ini menjadi satu.(Zuhairani, 1992: 5) 

Perkembangan Filsafat Nilai Pengertian axiologi secara etimologis berasal dari bahasa Inggris yakni axiology (Inggris): axios (nilai) dan logos (ilmu). Term axiology pertama digunakan oleh Paul Leppy. Secara formal perkembangan aksiology merupakan cabang filsafat baru yang berkembang sekitar paruh kedua abad ke-19. Axiology sama artinya dengan Value Theory atau Theory of Value. Istilah ini digunakan sebelum muncul istilah Axiology. Axiology juga mempunyai persamaan istilah dengan Waardenfilosofi (Bahasa Belanda) yang berarti filsafat nilai. Filsafat Nilai adalah cabang Filsafat yang membahas nilai secara filosofis/kefilsafatan; mendasar, menyeluruh, sistematis, sampai pada hakikat nilai itu sendiri, untuk mendapatkan kebenaran sesuai dengan kenyataan. “A branch of philosophy dealing with values, i.e., ethics, aesthetics, religion (Based on the Greek for “worth”. The study of the nature of types of and criteria of values and of value judgments, especially in the ethics (John wartfield). The general theory of value; the study of objects of interest (Lotze). “Axiology is the science of value.The word ‘axiology’, derived from Greek roots ‘axios’ (worth of value) and ‘logos’ (logic or theory), means the theory of value. The development of the science makes possible the objective measurement of value as accurately as a thermometer measures heat.”(Ensiklopedia filsafat, 2001: 45) Axiology: the branch of Philosophy dealing with the nature of value and the types of value, as in morals, aesthetics, religion, and metaphysics.” (Ensiklopedia filsafat, 2001: 46) “Value theory concerns itself with the worth,utility, trading or economic value, moral value (virtue), legal value, quantitative or aesthetics value of people and things-or combination of all these.” (Ensiklopedia filsafat, 2001: 47) Pentingnya aksiologi memotivasi orang menanyakan prinsip (arche) dari Realitas: Realitas adalah alam, bersifat bendawi → muncul jawaban: air, apeiron, udara. Tidak hanya benda, Realitas juga terdapat dunia esensi, konsep, hubungan →disebut objek ideal. Di samping realitas fisis dan objek ideal, ada yang dinamakan fenomena psikis/keadaan psikologi. Contoh: 1. Batu, hewan, gunung (dunia fisik/bendawi) 2. Bilangan, konsep, hubungan (dunia esensi/objek ideal) 3. Pengalamanku, harapanku, suka dukaku, persepsiku (keadaan psikologi) 

Nilai Subjektif –Objektif dan Kualitas dan Kuantitas Perumpamaan dalam filsafat nilai adalah “Berapa nilai yang diperoleh Andi dalam pertandingan melawan Dino?” Tanya Ita. “3-1 untuk Andi”, jawab Ani.• “Bin, kamu ujian kemarin dapat nilai berapa?” Tanya Saleh pada Robin. “Lumayan, 85” jawab Robin. “Komputermu sudah tua, sebaiknya kamu tukar dengan yang baru” saran Alya pada Afif. “Kira-kira berapa ya, nilai tukar komputer lamaku” Tanya Afif. “Mengapa Gedung kuno itu masih dipertahankan sementara nilai perawatannya sangat tinggi dibanding manfaat yang diberikan.” Memang biaya perawatan Gedung kuno itu tinggi sekali tapi nilai-nya sangat berarti bagi generasi penerus bangsa ini. Gedung itu merupakan bangunan tempat para pemimpin bangsa ini mempersiapkan kemerdekaannya.“ Contoh: SCORE 􀃎 kuantitatif X GRADE 􀃎 kuantitatif X PRICE 􀃎 kuantitatif X COST 􀃎 kuantatif X VALUE Berdasarkan Contoh di atas maka mengandung nilai kualitas. Nilai dipahami sebagai sesuatu yang tidak ada untuk dirinya sendiri. Nilai membutuhkan pengemban agar ia bisa eksis. Nilai merupakan kualitas. Nilai tidak memberi/menambah eksistensi. Dalam Fungsi Jiwa Manusia: 1. Akal (pikir) → Logika: apa yang seharusnya benar atau salah? 2. Kehendak → Etika: baik – buruk 3. Perasaan → Estetika: indah – tidak indah. L a t i h a n 1. Kemukakan sejarah perkembangan filsafat secara periodik sistematik! 2. Kemukakan secara historis masa perkembangan kemajuan dan stagnasi filsafat nilai 3. Apa yang dimaksud dengan sejarah filsafat nilai? dan apakah filsafat nilai ada sejak masa Socrates, abad pertengahan atau pasca abad modern? Jelaskan menurut versi anda. 4. Apa yang bias anda tangkap dari uraian perkembangan sejarah filsafat nilai. R a n g k u m a n 1. Aksiologi dari beberapa dongeng dan tahayyul, orang Yunani sangat peka terhadap nilai-nlai yang ajaib sehingga mereka senantiasa berangan-angan terhadap nilai estetika atau sesuatu yang indah-indah, yang menjadikan dasar bagi mereka untuk mencari pengetahuan yang semata-mata hanya untuk mencari tahu saja. 2. Secara formal perkembangan axiology merupakan cabang filsafat baru yang berkembang sekitar paruh kedua abad ke-19. Axiology sama artinya dg Value Theory atau Theory of Value. 3. Istilah ini digunakan sebelum muncul istilah Axiology. Axiology juga mempunyai persamaan istilah dg Waardenfilosofi (Bahasa Belanda) yang berarti filsafat nilai. 4. Filsafat nilai adalah cabang Filsafat yang membahas nilai secara filosofis/kefilsafatan → mendasar, menyeluruh, sistematis, sampai pada hakikat nilai itu sendiri, untuk mendapatkan kebenaran sesuai dengan kenyataan. 5. Nilai dipahami sebagai sesuatu yang tidak ada untuk dirinya sendiri. Nilai membutuhkan pengemban agar ia bisa eksis. Nilai merupakan kualitas. Nilai tidak memberi/menambah eksistensi. Tes Formatif 1. Kemukakan Sejarah perkembangan filsafat secara periodic sistematik! 2. kemukakan secara historis masa perkembangan kemajuan dan stagnasi filsafat nilai 3. Apa yang dimaksud dengan sejarah filsafat nilai Dan apakah filsafat nilai ada sejak masa Socrates, abad pertengahan atau pasca abad modern? Jelaskan menurut versi anda. 4. Apa yang bias anda tangkap dari uraian perkembangan sejarah filsafat nilai. Kunci Jawaban Tes Formatif 1. Sejarah perkembangan filsafat nilai secara substansial muncul ketika manusia ada, pengenalan manusia terhadap nilai secara filosofis nanti pada masa Thales dan Socrates, Plato dan Aristoteles dan lebih formalitas pada abad ke 20 2. Perkembangan filsafat nilai pada abad pertengahan mengalami stagnan, nanti pada abad ke 20 mulai berkembang dengan pesat 3. Sejarah filsafat nilai adalah perjalanan pemahaman manusia terhadap nilainilai kehidupan sebagai makhluk yang berppikir 4. Bahwa perkembangan filsafat nilai seiring dengan perkembangan peradaban manusia 

PENGERTIAN, OBYEK FILSAFAT NILAI DAN CABANG FILSAFAT NILAI

Sebelum memahami pengertian dan obyek filsafat nilai, terlebih dahulu dikemukakan ilustrasi berikut sebagai pengantar. Dalam kehidupan kita sehari-hari realitas mempunyai lapisan dan aspek yang berbeda-beda. Kita melihat titik-titik hitam pada kertas putih dan titik-titik hitam itu sungguh-sungguh nyata. Lalu kita melihatnya secara lebih teliti dan menemukan bahwa titik-titik hitam itu adalah tanda yang membentuk kata. Langkah berikutnya adalah bahwa kita berusaha membaca kata-kata itu. Untuk itu kadang-kadang bahkan kita harus terlebih dahulu mempelajari bahasanya. Kita mencari makna kata-kata itu dan akhirnya memahami maknanya. Dalam arti tertentu, makna ini merupakan lapisan yang lebih dalam dari pada realitas yang terdiri dari dari tanda-tanda tertulis. Kadang-kadang kita dapat membaca kata, tetapi makna yang lebih dalam belum meresap ke dalam benak kita. Makna tersebut dapat merupakan suatu pesan atau imbauan, atau suatu tantangan. Maknanya yang sepenuhnya yaitu lapisan yang lebih dalam dan paling “nyata” barangkali adalah imbauan religius atau moral untuk memperbaharui kehidupan dan masyarakat manusia atau untuk melakukan tindakan yang dari segi moral dapat dipertanggungjawabkan. Tidak mudah untuk mengacu secara jelas kepada dimensi yang paling dalam dari dunia nyata. Lebih mudah menunjukkan realitas titik tinta dari pada imbauan etis. Suatu definisi lama yang sudah dikenal umum mengatakan bahwa manusia adalah binatang yang berakal budi (animal rationale). Aristoteles yang memberikan definisi ini, menggunakan kata Yunani “logos” untuk “akal budi”. Kata ini aslinya berarti “bicara” dan ungkapan Yunani yang lain, memberi “logos” yang berarti ‘mempertanggungjawabkan”. Bicara dan bahasa berperan dalam komunikasi sosial manusia (Peursen, 1990: 1). Manusia melalui pandangan, kata, dan tindakan, melakukan lebih dari sekedar mengungkapkan fakta. Realitas merupakan suatu aturan, tetapi apakah yang nyata itu? Ini bukan sekedar pertanyaan yang memberikan fakta, melainkan merupakan tugas penilaian moral tentang suatu situasi. Ini bukan bukan masalah fakta, melainkan masalah nilai. Masalah nilai merupakan masalah yang dibahas dalam salah satu cabang filsafat, yakni aksiologi, sehingga aksiologi diartikan sebagai filsafat nilai (Kuswanjono, 2010: 141). 

A. Pengertian Filsafat Nilai 

Dalam memahami pengertian filsafat nilai, terdapat dua kata yang sebaiknya diletakkan dalam pengertian yang berbeda yakni, kata filsafat dan nilai. Terdapat berapa pandangan yang dapat dipakai untuk mengenal apa itu filsafat. Secara etimologis, istilah filsafat merupakan padanan kata falsafah (bahasa Arab) dan philosophy (bahasa Inggris), yang berasal dari bahasa Yunani philosophia, yang berasal dari akar kata, philos dan sophia. Kata philos berarti cinta (love) atau sahabat, dan sophia berarti kebijaksanaan (wisdom), kearifan, dan pengetahuan. Sehingga kata filsafat berarti, “love of wisdom” atau cinta kebijaksanaan, cinta kearifan, cinta pengetahuan, atau sahabat pengetahuan, sahabat kebijaksanaan, sahabat kearifan (Maksum, 2008: 20). Secara terminologis filsafat dapat dipahami bertalian dengan kegiatan pemikiran atau berpikir yang dilakukan oleh manusia. Berpikir secara filsafati berarti berpikir secara bijak, arif, dialogis, harmonis, komprehensif, sistimatis, menyeluruh, tuntas, dan logis terhadap segala sesuatu. Menurut Nina W. Syam (2010: 79), filsafat pada dasarnya adalah perenungan yang mendalam mengenai sesuatu yang dianggap atau dinilai bermanfaat bagi kehidupan manusia. Melalui kebijaksanaan manusia mampu bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang tinggi (actus humanus). Adapun kata nilai, secara etimologis merupakan padanan kata value (bahasa Inggris) yang berbasis moral (moral value), (Echols, 2004 : 389). Dalam kebiasan sehari-hari, kata nilai dihubungkan dengan predikat, bobot, atau kualitas sesuatu. Dalam pembahasan ini, kata nilai merupakan kualitas yang berbasis moral. Menurut Risieri Frondisi (2007:7) nilai adalah kualitas yang tidak ada pada untuk dirinya sendiri, ia membutuhkan obyek untuk berada. Oleh karena itu, nilai tampak merupakan kualitas dari obyek. Nilai dalam kualitas, bagus atau indah atau guna dapat berbeda sesuai dengan obyeknya. Berkaitan dengan pengertian di atas, Mustari Mustafa (2009 :111) mendefinisikan, nilai sebagai kualitas dari sesuatu, yang bermanfaat bagi kehidupan manusia beik lahir maupun bathin, sehingga dijadikan landasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik yang disadari maupun tidak. Berdasarkan urutan dan rangkaian pengertian dua kata ini, maka kata filsafat dan kata nilai yang dirangkai menjadi filsafat nilai, merupakan kajian yang bersifat mendalam, sistematis, logis, dan universal tentang hakikat nilai. Dalam filsafat sendiri, kajian ini diselidiki dalam cabang filsafat yakni aksiologi. Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang ditinjau dari sudut filsafat (Kattsoff, 2004 :319). Dari pembahasan tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa makna penting bahwa : 1. Sebelum memahami makna filsafat nilai, harus diketahui terlebih dahulu makna kedua kata tersebut secara sendiri-sendiri. 2. Filsafat nilai berasal dari makna filsafat yang berarti berpikir secara mendalam dan hakiki sedang nilai berarti kualitas yang positif bagi kehidupan manusia. Sehingga filsafat nilai merupakan kajian mendalam dan menjadi komprehensif tentang hakikat nilai. 3. Nilai yang dimaksud adalah kualitas yang berbasis moral yang sesuai dengan aturan dan norma seperti, aturan agama yang berdasarkan kitab suci. 4. Dalam agama Islam, aturan atau norma tersebut terkandung dalam kitab suci Al-quran dan Hadits. Rasulullah saw. sendiri menyebutkan dirinya, ......diutus dengan misi untuk meyempurnakan akhlak/moral yang baik”. Oleh karena itu soal atau hal ikhwal nilai ini dapat disebut sebagai syarat mutlak untuk menjadi muslim sejati. Adapun pengertian nilai dari sudut terminologi dapat kita kaji dari beberapa defenisi yang diberikan oleh orang-orang yang berkompeten didalamnya seperti: Max Scheler (1874-1928) berpendapat, bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawanya, merupakan kualitas apriori, yang telah dirasakan manusia tanpa harus melewati pengalaman inderawi lebih dahulu. Tidak tergantungnya kualitas tersebut tidak hanya pada objek yang ada di dunia ini seperti lukisan, patung, tindakan manusia dan lain-lain, melainkan juga tidak tergantung pada reaksi kita terhadap kualitas tersebut. Nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung, dan tidak berubah seiring dengan perubahan barang. Sebagaimana warna merah tidak berubah menjadi biru ketika suatu objek dicat menjadi merah. Demikian pula nilai tetap tidak berubah oleh perubahan yang terjadi pada objek yang memuat nilai yang bersangkutan. Nilai bersifat absolut, tidak dipersyaratkan oleh suatu tindakan, tidak memandang keberadaan alamaiahnya, baik secara historis, sosial, biologis ataupun individu murni. Scheler juga menolak ketergantungan nilai pada realitas kehidupan (Wahana, 2008: 51, 52). Bagi Scheler nilai adalah hal yang dituju oleh perasaan, maka tidaklah benar jika dikatakan bahwa manusia berusaha memperoleh kenikmatan atau kepuasan perasaan. Sebab yang diusahakan manusia adalah nilai. Maka bila manusia bermaksud mendapatkan kenikmatan, hal itu bukan untuk kepuasan perasaan, melainkan karena kenikmatan itu dipandang sebagai suatu nilai. Definisi nilai Scheler adalah a priori material, kebalikan dari Kant nilai sebagai suatu a priori formal (Hadiwijono, 1993 : 145). Immanuel Kant berpendapat bahwa nilai itu adalah kebebasan atau otonomi (Suseno, 2007: 157). Pandangan Kant tentang nilai adalah didasarkan pada etikanya bebas, yang tidak bersyarat selain dari syarat prioiri, nilai tidak bergantung pada materi, ia murni sebagai nilai tanpa bergantung pada pengalaman. Tindakan manusia hanya bisa bernilai manakala ia bebas memilih tindakannya secara sadar tanpa pengaruh dari luar. Tindakan seperti inilah yang dapat dimintai pertanggung jawaban. David Hume, sebagai seorang yang emperistik menolak segala sistem etika yang tidak berdasarkan fakta-fakta dan pengamatan-pengamatan empiris. Yang dapat kita ketahui hanyalah apa yang menjadi pengalaman kita, pengalaman inderawi dan pengalaman perasaan. Hume tindak menerima adanya nilai-nilai mutlak, nilai-nilai yang lepas dari perasaan, atau nilai-nilai yang mendahului sikap kita. Sesuatu itu bernilai oleh karena kita tertarik kepadanya, bukan sebaliknya, kita merasa tertarik kepada sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Oleh karena itu tidak harus dicari dalam diri sendiri. Pendekatan empiristik Hume itu membawa implikasi langsung bahwa tidak ada dasar untuk bicara mengenai “keharusan moral”. Yang dapat kita alami selalu faktual, berupa suatu data, dan tidak pernah suatu keharusan. Kita dapat melihat atau membaca sesuatu, kita juga dapat merasa bangga, sedih, gembira atau jijik; tetapi semua itu merupakan fakta dan bukan keharusan. Bahwa sesuatu yang sangat kita setujui harus kita setujui atau harus kita usahakan, demikian pula bahwa sesuatu yang kita benci harus kita tolak atau wajib untuk dihindari. Munculnya kewajiban itu merupakan tambahan yang tidak termuat dalam pengalaman empiris. Oleh itu bagi Hume, tidak masuk akal untuk berbicara sebuah kewajiban objektif. Demikian pula tidak ada moral objektif, tidak ada etika normatif, karena semua itu tidak mempunyai dasar rasional yakni tidak dapat disandarkan pada pengalaman empiris, oleh karena itu tidak dapat diketahui (Suseno, 2007: 126). Arthur Schopenhauer (1788-1860) menyatakan, suatu perbuatan dapat disebut bernilai jika perbuatan itu mengandung unsur-unsur belas kasih. Manusia harus membebaskan diri dari perbudakan atas dirinya sendiri. Manusia dilingkupi penderitaan seperti rasa rindu, tidak pernah merasa tenang, tidak pernah puas, jika sukses malah merasa hampa. Oleh karena itu manusia harus memerdekakan diri dan hidupnya dari penjara kehidupan ini. Schopenhauer memandang manusia semua sama, semua adalah saudara, oleh karena itu hendaknya kita memperlakukan manusia lain dengan adil sama seperti kita memperlakukan diri kita, dan belas kasih karena kita ikut merasakan apa yang dialami saudara kita tersebut. Dan inilah yang menjadi dasar moralitas sehingga sebuah tindakan dapat dinilai baik (Suseno, 2007: 169). Definisi-definisi nilai sebagaimana terungkapkan di atas baik secara etimologi maupun secara terminologi menerangkan kepada kita bahwa moral, etika atau keseluruhan tindakan manusia baik yang menyangkut hal-hal fisik ataupun yang berhubungan dengan perasaan ruhaniah , menjadi pembicaraan nilai. 

B. Obyek Filsafat Nilai 

Sebelum memahami obyek filsafat nilai, terlebih dahulu dikemukakan apa obyek filsafat. Obyek filsafat dibagi menjadi dua, obyek material dan obyek formal. Obyek materil filsafat ialah segala sesuatu yang menjadi masalah atau segala sesuatu yang ingin diketahui oleh manusia, dengan target pengetahuan hakiki. Sedangkan obyek formal filsafat ialah usaha mencari sesuatu atau usaha mengetahui secara radikal dan formal (Maksum, 2008: 24). Oleh karena itu, obyek filsafat nilai ialah, penyelidikan secara mendalam dan formal tentang hakikat nilai. Dengan kata lain, obyek filsafat nilai bergerak dari segala sesuatu yang ingin diketahui secara mendalam tentang masalah nilai. Beberapa persoalan yang dibahas antara lain: apa sesungguhnya nilai itu, apakah nilai bersifat obyektif atau subyektif, apakah fakta mendahului nilai atau sebaliknya (Kuswanjono, 2010: 141) Filsafat nilai atau aksiologi, memiliki cabang: yaitu logika yang membicarakan nilai kebenaran, dalam arti kebenaran yang sesuai dengan rasio dan berlandaskan pada ajaran atau tidak bertentangan dengan agama. Etika yang membicarakan nilai kebaikan dan estetika yang membicarakan nilai keindahan. Dalam persoalan nilai, sebenarnya ada satu lagi nilai yang harus dimasukkan yakni nilai ilahiyah, tapi dalam filsafat (aksiologi) bentuk nilai ini tidak dimasukkan karena kawasan kajiannya di luar wilayah filsafat. Namun sebagai penyempurnaan dalam praktek kehidupan sehari-hari, nilai ilahiyah atau teologi ini amat dibutuhkan karena dimensinya meliputi dunia dan akhirat sesuai dengan dimensi keyakinan umat Islam. 

C. Cabang Filsafat Nilai 

1. Logika 

Logika sebagai salah satu cabang dari filsafat atau yang penganut paham ini biasa disebut dengan rasionalisme, berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Oleh karenanya kebenaran tertinggi adalah apa yang dihasilkan dan dapat dicerna oleh rasio. Adapun mengenai pengalaman (emperis) hanyalah perangsang bagi pikiran untuk mendapatkan suatu pengetahuan. Rene Descartes (1596-1650) sebagai peletak alas atas aliran rasionalisme, memandang bahwa kebenaran ilmu pengetahuan atau epistemologi harus mengikuti jejak ilmu pasti. Dalam ungkapan lain, segala gagasan yang kita kenal dari kebiasaan atau pengalaman dan pewarisan, baru bernilai, jika secara metodis diperkembangkan dari intuisi yang murni atau akal budi. (Harun Hadiwijono, 1993: 19) Rasionalisme yang lebih luas dan lebih konsekuen dapat kita temukan dalam pemikiran Baruch Spinoza (1632-1677). Baginya di alam semesta ini tiada yang bersifat rahasia, karena rasio manusia telah melingkupi segala sesuatunya, termasuk Allah sebagai suatu substansi. Bahkan Allah menjadi sasaran akal. Harun Hadiwijono (1993: 27) memberi pengertian substansi Spinoza adalah apa yang ada dalam dirinya sendiri dan yang mendasarkan pengertian mengenai pada dirinya sendiri. Dimana implikasinya yakni alam dengan segala isinya adalah identik dengan Allah (Frans Magnis Suseno, 1997 : 39). Atau sebaliknya, Allah adalah alam itu sendiri yang segala sesuatu dapat dijangkau oleh rasio/tidak ada substansi yang transenden (lihat juga Joko Siswanto, 2009: 41). Dengan demikian, yang benar dan bernilai menurut paham rasionalisme adalah apa yang dapat di ukur dan diurai oleh akal budi. Pengukuran lewat akal budi ini bukanlah sekedar untuk memunculkan suatu pengetahuan baru, namun untuk mencegah kekeliruan dalam mengutarakan suatu opini. Sebagaimana Immanuel Kant (1724-1804) ungkapkan ibarat akar-akar pohon yang tidak mengandung buah, namun perlu dipelihara untuk memastikan agar nantinya buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut sehat. Oleh karenanya logika adalah agar kita bisa mengungkapkan dengan lebih jelas dan cermat pengetahuan yang kita peroleh dari sumber-sumber lain agar kita tidak membudidyakan wawasan yang terlihat manis di luar, tetapi busuk ketika kita “gigit” (Nina W. Syam, 2010 : 187) 

2. Etika 

Cabang filsafat nilai yang paling banyak mendapat porsi untuk di bahas adalah masalah etika. Manusia tidak dapat hidup tanpa etika (aksi). Seluruh pengalaman dan tindakan manusia akan selalu berkaitan dengan “baik” dan “buruk”, predikat-predikat nilai “betul” (right) dan “salah” (wrong) atau predikat “jujur” (honest) dan “tidak jujur” (false). Maka sebagai pokok bahasan yang khusus, etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan seseorang disebut bersusila (ber-moral) dan tak bersusila (amoral). Oleh karena itu, etika sebagai ilmu sistematis di tuntut untuk dapat memberikan alasan-alasan tepat untuk mendefenisikan suatu hal yang disebut baik dan tidak baik, bermoral dan tidak bermoral. Sebelum lebih jauh membahas masalah etika ini, ada baiknya bila kita paham lebih dahulu pemgertian etika. Secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti adat istiadat, perasaan batin, kecondongan hati untuk melakukan suatu tindakan. Dalam bahasa latin ada kata mos yang berarti kebiasaan, yang jamaknya mores, dari sinilah muncul kata moral, di mana kata moral ini merupakan kata nama sifat yang awalnya berbunyi moralis. Dalam dunia ilmu kata moralis dihubungkan dengan scientia sehingga berkembang menjadi scientia moralis atau pilosopia moralis. Dengan demikian, menurut M. Yatimin Abdullah (2006: 4), etika dapat didefenisikan yaitu: Ilmu yang mempelajari tentang segala soal kebaikan dalam hidup manusia. baik itu tentang gerak gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan tindakan. Secara terminologi, terdapat begitu banyak defenisi etika yang diberikan oleh ilmuan yang berkecimpung dalam bidang ini, sebagai mana dipaparkan dalam buku Agus Makmur Tomo dan B. soekarno (1989 : 11-12) seperti: W. Lilie memberi defenisi sebagai berikut: Etika adalah ilmu pengetahuan yang normatif mengenai kelakuan manusia dalam kehidupannya di dalam masyarakat. Austin fagothey mendefinisikan jika etika adalah ilmu pengetahuan normatif yang praktis mengenai kelakuan manusia yang benar dan tidak benar, yang dimengerti oleh akal murni. Agus Makmur Tomo sendiri menerangkan jika etika adalah bagian filsafat yang memberi pegangan-pegangan bagaimana kita mengaktualisasikan kemauan sebagaimana mestinya. Pertanyaan yang paling mendasar adalah: apa itu baik menurut etika? Adakah ukuran formal yang disepakati untuk mengatakan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan baik? Mari kita membahas pertanyaan di atas dengan melihat beberapa pengertian-pengertian. Misalnya, kaum hedonis berpendapat bahwa baik adalah apa yang dapat memberikan rasa nikmat. Baik itu yakni apa yang diinginkan oleh orang (etika psikologis). Dan lebih jauh lagi Herbert Spencer (1820-1903) menjelaskan bahwa baik adalah apa yang membuktikan diri bermanfaat dalam perubahan (evolusi). Namun ada pula tokoh yang tidak mau mendefinisikan tentang ‘baik’, seperti George Edward Moore. Bagi Moore, “baik” merupakan data dasar yang tidak dapat direduksikan kepada sesuatu yang lebih mendasar lagi. “Baik” merupakan sifat yang primer, tidak terdiri atas bagian-bagian lagi, dan karena itu tidak dapat dianalisa. Sama halnya dengan warna kuning, kita tetap tidak akan paham jika seseorang mengatakan bahwa ia melihat sesuatu yang kuning (Frans Magnis-suseno, 2007: 1-3). Dengan keanekaragaman pengertian di atas, maka akan memunculkan pertanyaan- berupa: Apa sesungguhnya tugas etika? Juhaya S. Praja (2003: 59), memberikan penjelasan atas permasalahan ini: Etika merupakan penyelidikan filsafat mengenai kewajiban-kewajiban manusia tersebut. Etika bertugas memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut: Atas dasar hak apa orang lain menuntut kita untuk tunduk terhadap norma-norma yang berupa ketentuan, kewajiban, larangan dan sebagainya? Bagaimana kita dapat menilai norma-norma tersebut? Pertanyaan seperti ini timbul karena hidup ini seakan-akan terkungkung dalam jaringan norma-norma yang seolah-olah membelenggu dan mencegah kita dari bertindak bebas; memaksa kita berbuat apa yang sebenarnya kita benci. Dari uraian di atas dapat dipahami jika nilai etika/moral selamanya tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Etika/moralitas akan melekat dalam diri seseorang/masyarakat dengan faktor-faktor yang mempengaruhi, diantaranya: Pertama, Sifat manusia. Sifat manusia ini dapat kita bagi menjadi sifat baik dan sifat buruk. Sifat baik harus dilestarikan dengan cara melakukan perbuatan yang dapat memberi kenyaman bagi diri sendiri dan orang lain. Kedua, norma-norma etika/moral, yang mana norma ini menjadi ukuran baik tidaknya dari tindakan manusia. Ketiga, Atura-aturan agama. Setiap agama mengandung suatu ajaran etika yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Keempat, fenomena akan kesadaran beretika. Kesadaran ini timbul dalam diri seseorang apabila harus mengambil keputusan mengenai sesuatu yang menyangkut kepentingan pribadinya yang berbenturan dengan hak dan kepentingan orang lain (M. Yatimin Abdullah, 2006 : 40-41). Oleh karena itu, merujuk pada penjelasan di atas, kehendak dan tindakan bebas tidak dapat kita nilai sebagai suatu kehendak atau tindakan yang mengandung nilai etika. Karena selamanya tindakan manusia akan diatur oleh norma-norma, baik itu adat istiadat, norma sosial dan norma agama. Inilah yang disebut dengan etika normatif. Etika normatif yang akan kita bahas dalam materi di bawah ini akan menjawab pertanyaan di atas: Adakah ukuran formal yang disepakati untuk mengatakan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan baik? Oleh karena itu akan dikemukakan beberapa teori yang di kutip dari buku Juhaya S. Praja (2005: 62-63) berikut ini: 

a. Teori Deontologis. 

Berasal dari bahasa Yunani, deon = yang diwajibkan, yang diharuskan. Bahwa betul salahnya suatu tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu, melainkan ada tindakan yang begitu saja terlarang, atau begitu saja wajib dengan sendirinya. Contoh, mengambil buah dari pohon seseorang tanpa meminta izin lebih dahulu kepadanya adalah tidak boleh. Kita tidak membutuhkan suatu aturan (meski pun ada norma yang mengaturnya) untuk tahu bagaimana hukum dan akibat dari tindakan mencuri tersebut. 

b. Teori Teleologis.

 Dari bahasa Yunani, telos = tujuan. Teori ini berpaham bahwa betul tidaknya suatu tindakan justru tergantung dari akibat-akibatnya. Kalau akibat dari tindakan itu baik, maka ia boleh dilakukan, bahkan wajib. Namun sebaliknya, bila tindakan itu berakibat buruk, maka ia dilarang untuk dilakukan. Teori ini justru memandang mencuri barang dari orang yang kaya namun kikir untuk memberikan hidup bagi orang lain itu maka itu boleh sepanjang akibat-akibatnya baik. c. Teori Egoisme Etis Teori ini merupakan kelanjutan dari teori ke dua di atas. Teori ini banyak berbicara tentang akibat dari perbuatan bagi kepentingan pribadi, bukan kepentingan umum. Teori egoisme etis berpendapat bahwa orang yang betul-betul hidup sesuai dengan kepentingannya sendiri adalah seorang yang matang dan tahu tanggung jawab. Orang itu tidak menuruti begitu saja segala macam keinginan dan nafsu seperti iri hati, dendam dan sebagainya. Melainkan ia membuat penilaian lebih dahulu tentang apa yang cocok untuknya, kemudian bertindak sesuai dengan penilaian itu. Secara moral, bukankah justru kekuatan-kekuatan irrasionallah yang paling mengacaukan hidup kita dan hidup orang lain, dan bukan usaha untuk bertindak sesuai dengan kepentingan yang nyata? Dengan demikian, perbuatan, tindakan, dan rasa sebagai hasil dari gerak pikir serta pertimbangan yang dalam akan mengandung nilai etika manakala perbuatan dan tindakan tersebut sesuai dengan norma-norma yang ada, baik norma itu sifatnya subyektif positif terlebih lagi jika norma tersebut disepakati secara umum (obyektif). 

3. Estetika. 

Berbicara mengenai estetika, tidaklah melulu berbicara tentang seni dengan segala keindahan yang dimilikinya. Karena bisa jadi suatu aksi, tindakan bahkan ucapan mengandung nilai estetika, yang menurut Susanne K. Langer (1895- ) disebut dengan logika simbolis yang manpu menampilkan secara khas masalah-masalah etis. Oleh karenanya estetika merupakan salah satu jalan masuk ke bidang etika (M. Sastra Prateja. Ed; 1983: 68). Baiklah kita lepaskan masalah etika dan kita membahas masalah estetika. Dalam buku M. Sastra Prateja (1983: 73) dijelaskan bahwa Langer memandang estetika dalam hal ini seni sebagi sesuatu yang tidak mungkin didekati secara sekaligus dan menyeluruh namun membutuhkan pendekatan secara sendiri-sendiri. Jadi tidak bisa misalnya suatu hasil analisa terhadap suatu lukisan diterapkan dengan cara analogi pada keindahan seni musik, begitu pula pada keindahan seni-seni yang lain. Dengan hal seperti ini maka nilai estetika dari suatu hasil kreasi seni secara umum akan sulit menemukan defenisi indah itu secara obyektif. Yang bernilai adalah apa yang indah. Inilah barangkali rumusan sederhana yang dapat kita perpegangi. Karena pada kelanjutannya, estetika berusaha menemukan nilai indah secara umum. Sehingga tidak mustahil pada akhirnya muncul beberapa teori yang memperbincangkan hal itu. Estetika atau dengan kata lain etistika, istilah yang dikembangkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762) mendefinisakan sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan. Estetika di bagi dalam dua bagian yaitu estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Sedangkan estetika normatif mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan. Baik Plato, Aristoteles maupun Agustinus (354-430) memandang bahwa keindahan dari suatu obyek hasil seni manusia tidak lebih dari sebuah tiruan dari obyek yang lain. Oleh karena itu keindahan itu bukan terletak pada obyek melainkan pada idea atau apa yang ada dalam pikiran. Sedangkan David Hume (1711-1776) mengatakan bahwa nilai indah bukanlah sesuatu kualitas obyektif yang terletak di dalam obyek-obyek itu sendiri, melainkan di dalam pikiran. Namun, apa yang dianggap indah dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan preferensi individu. Teori ini sejalan dengan Immanuel Kant yang mengatakan bahwa keindahan itu merupakan penilaian etistika yang memilki nilai subyektif, dimana pertimbangan etistika memberikan faktor yang sangat menjembatani segi-segi dan praktik dari sifat dasar manusia. Lain pula dengan yang dikemukakan oleh George Santayana (1863-1952) yang mengembangkan etistika naturalitas, dimana ia menolak ketidakhadiran obyektifitas keindahan. Ia mengatakan bahwa keindahan itu merupakan perasaan senang yang diobyektifkan dan diproyektifkan ke dalam proyek obyek yang diamati. Bagi Clive Bell (1851-1964) yang mengungkapkan gagasannya lewat ungkapan bentuk yang berarti dan perasaan yang etistika. Yang dikatakan bentuk yang berarti ialah yang membuat karya-karya seni itu benar-benar bernilai. Perasaan etistika berbeda dengan perasaan-perasaan biasa. Perasaan etistika hanaya dialami pada saat seseorang benar-benar menyadari akan bentuk yang berarti. Ialah bentuk hasil dalam karya seni yang menggugah perasaan seni seseorang menjadi hidup (M. Yatimin Abdullah, 2006: 44-48). Kattsoff (2004: 379-380) mengomentari teori estetika John Dewey (1859-1952), bahwa bagi Dewey keindahan terdapat pada kata-kata ‘keberhasilan’ dan ‘hasil-hasil yang dicapai’. Pengalaman estetis merupakan pengalaman yang menyeluruh, yang di dalamnya terdapat kualitas perasaan yang menimbulkan kepuasan sebagai akibat keikutsertaan dan keberhasilan. Pada hakekatnya tidak terdapat perbedaan antara pengalaman estetis dengan pengalaman yang bukan estetis. Olehnya itu Dewey menjadikan seni dalam keadaan berkesinambungan dengan pengalaman hidup organisme, dan bukan sesuatu abstrak yang terpisahkan dari kehidupan. Muncul pertanyaan, apakah nilai keindahan itu merupakan sifat yang dimilki objek atau terletak pada orang yang menilai (subjek)? Sebab kalau nilai indah melekat pada objek, harusnya setiap orang akan berpendapat sama dalam menilai suatu objek selama mereka menganalisanya denga cara yang sama. Kalau nilai itu melekat pada subjek, maka itu sama saja dengan sifat objek itu tidak menentu, sebab bagaimanapun juga nilai merupakan sifat yang melekat pada objek. Dalam hal ini menurut Kant, keindahan itu merupakan sifat bukan terletak pada subjek (Juhaya S Praja, 2005 : 69). Satu hal yang dapat kita sepakati bahwa seni merupakan pengalaman, bukan sesuatu yang baru dan tidak terlalu mempengaruhi dalam memberikan sesuatu yang baru. Sementara menurut Schopenhauer, dengan berdasar pada pandangannya yang menganggap manusia hidup dalam penderitaan, maka manusia harus melepaskan diri dari penderitaan tersebut, dengan dua cara yakni dengan seni-seni sebagai jalan pertama, dan yang kedua dengan jalan defenif. Orang yang genial, mampu untuk melakukan kontemplasi estetik. Karya seni, merupakan. kemampuan imajinasi pemandangan estetik untuk membukanya terhadap idea-idea abadi. Kontemplasi estetik tanpa pamrih membebaskan orang genial dari cengkeraman keinginan dan kecenderungan yang mengacaukan itu. Schopenhauer secara eksplisit memang mengacu kepada filsafat Yunani tentang theorianya Plato. Sedang puncak pengalaman estetik Schopenhauer adalah musik, di mana musik dianggap sebagai realitas dibelakang konsep-konsep yang menawarkan diri untuk dipahami. Tapi kontemplasi estetik ini hanya sementara. Maka manusia harus menempuh jalan yang kedua di atas, manusia harus melepaskan dirinya dari segala macam keinginan, karena keinginan itu akan selalu menyiksa manusia; bahkan keinginan hidup sekalipun (Suseno, 2007 : 266). Dengan kata lain ungkapan menghilangkan segala macam keinginan termasuk keinginan (nafsu) hidup, bukan berarti kita harus bunuh diri, tapi menerima apa yang telah dan akan terjadi tentu akan lebih menenangkan. Terlepas dari semua teori diatas, Muthahhari (2004 : 88-89) memberikan penjelasan sederhana tentang keindahan, namun memiliki makna yang dalam, yaitu bahwa keindahan melahirkan daya tarik, cinta dan pujian. Di mana ada keindahan di situ ada aktraktifitas, semangat cinta dan hasrat gerak mendapatkannya. Karena keindahan adalah sebab pencarian dan gerakan. Hanya saja perlu disadari jika keindahan tidaklah semata-mata apa yang di tangkap oleh inderawi (sekalipun semua indera mempunyai estetika sendiri yang dengannya ia mengetahui keindahan), namun ada keindahan maknawi yang nilainya lebih tinggi dari keindahan inderawi. Keindahan seperti itu dapat kita lihat dalam khayalan imajinasi manusia. juga dalam kefasihan bahasa dengan daya tarik dan estetika yang menawan, Seperti nilai estetika yang dikandung oleh puisi, syair dan musik. 

Enter your email address to get update from Pustaka Mallawa.
Print PDF
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »

2 comments

thank you for your visit and your comment. sorry, if I post irregularly

Balas

Numpang ya bossku ^^

HANYA DI KENARI POKER BANYAK BONUSNYA BOSSKU
Bonus Welcome Untuk New Member:
- Bagi deposit Rp.10,000 - Rp.14,999 Bonus Rp.5.000
- Bagi deposit Rp.15,000 - Rp.24,999 Bonus Rp.10.000
- Bagi deposit Rp.25,000 - Rp.49,999 Bonus Rp.15.000
- Bagi deposit Rp.50,000 - Rp.99,999 Bonus Rp.20.000
- Bagi deposit Rp.100,000 ke atas Bonus Rp.25.000
- Bonus next deposit 5% untuk deposit Rp.50.000
REAL PLAYER VS PLAYER !!!

Syarat Klaim bonus yaitu menghubungi CS kami di
WHATSAPP : +855966139323
BBM : KENARI00
LIVE CHAT : KENARIPOKER . COM
ALTERNATIVE LINK : KENARIPOKER . COM

Balas

Copyright © 2013. Pustaka Mallawa - All Rights Reserved | Modify by Pustaka Mallawa Powered by Blogger