Selamat Datang Di Blog Pustaka Mallawa
Terima kasih atas kunjungan Anda di blog Pustaka Mallawa,
semoga apa yang saya share di sini bisa bermanfaat dan memberikan motivasi pada kita semua
untuk terus berkarya dan berbuat sesuatu yang bisa berguna untuk orang banyak.

PENDIDIKAN DI SULSEL



MENILAI KINERJA PENDIDIKAN SULSEL

Dalam surat elektroniknya yang menggugah, bahkan mungkin menggetarkan bagi sebagian orang, Anies Baswedan, tokoh dibalik Program Indonesia Mengajar, menuliskan bahwa pendidikan berkualitas adalah kunci mengkonversi kemiskinan dan keterbelakangan menjadi kemajuan dan kemakmuran. Penyediaan layanan pendidikan, terutama pendidikan dasar, akan memungkinkan tercapainya kemajuan yang signifikan di masa depan. Anak-anak yang memperoleh layanan pendidikan di usia muda, akan memungkinkan mereka untuk keluar dari jeratan kemelaratan setelah satu dekade kemudian. Cara ini juga sekaligus mampu menjadi “gunting” bagi pemutusan mata-rantai kemiskinan.
Perspektif semacam ini,  setidaknya akan menuntun kita pada pengelolaan layanan pendidikan yang tidak lagi berfokus pada sekedar input (terutama anggaran) ataupunoutput, tetapi lebih berorientasi pada hasil (outcomes). Dengan demikian, keberhasilan pendidikan bukan lagi diukur dari berapa banyak anggaran yang telah dikucurkan (dimensi input) dan berapa banyak sekolah yang telah didirikan (dimensi output), tetapi diukur dari, misalnya, berapa banyak anak yang berada pada usia sekolah yang tetap duduk di bangku sekolah (dimensi outcomes).  Cara pandang semacam ini populer disebut sebagai perencanaan dan penganggaran berbasis sasaran (kinerja). Prinsip dasarnya adalah bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan harus ada hasilnya.
Dewasa ini, kinerja hasil di bidang pendidikan diukur sedikitnya dari tiga indikator utama, yaitu angka partisipasi sekolah (APS), rata-rata lama sekolah, dan angka melek huruf. Secara konseptual, APS mengukur berapa banyak anak usia sekolah yang benar-benar duduk di bangku sekolah. Rata-rata lama sekolah mengukur berapa lama penduduk secara rata-rata mampu bertahan duduk di bangku sekolah. Sedangkan angka melek huruf mengukur berapa banyak penduduk yang berusia di atas 15 tahun yang dapat membaca dan menulis.
Di Sulsel, ketiga indikator tersebut tampak mengalami kemajuan dari tahun ke tahun, meskipun belum berada pada level yang diharapkan. Untuk indikator APS misalnya, berdasarkan data BPS, APS 7-12 tahun (SD/MI) bergeser dari 94,88 persen pada tahun 2005 menjadi 96,53 persen pada tahun 2009. Ini berarti bahwa setiap 200 orang anak yang berumur 7-12 tahun, tujuh diantaranya sudah tidak bersekolah. APS 13-15 tahun (SMP/MTs) bergerak dari 76,13 persen pada tahun 2005 menjadi 80,96 persen pada tahun 2009. Ini bermakna bahwa setiap lima orang anak yang berumur 13-15 tahun, satu diantaranya sudah tidak bersekolah. Sedangkan APS 16-18 tahun (SMA/SMK/MA) meningkat dari 49,34 persen pada tahun 2005 menjadi 51,67 persen pada tahun 2009. Ini menunjukkan bahwa hampir setiap dua anak yang berusia 16-18 tahun, satu diantaranya sudah tidak bersekolah.
Jika capaian APS Sulsel di atas dikomparasikan dengan APS Nasional, terdapat gambaran yang cukup menarik. Meskipun APS Sulsel masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan APS Nasional pada semua tingkatan, namun peningkatan APS Sulsel berlangsung relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan APS Nasional. Di tingkat nasional, APS 7-12 tahun (SD/MI) hanya bergerak dari 97,6 persen pada tahun 2007 menjadi 97,95 persen pada tahun 2009 atau meningkat 0,35 point. Sedangkan di Sulsel, bergerak dari 95,3 persen  pada tahun 2007 menjadi 96,53 persen pada tahun 2009 atau meningkat 1,23 point. Kecenderungan serupa juga terjadi pada APS 13-15 tahun (SMP/MTs) dan 16-18 tahun (SMA/SMK/MA). Jika kecenderungan ini terus berlangsung secara konsisten, maka diperkirakan pada tahun 2012, APS APS 7-12 tahun (SD/MI) di Sulsel akan menyamai APS APS 7-12 tahun (SD/MI) Nasional. Sedangkan APS 13-15 tahun (SMP/MTs) dan 16-18 tahun (SMA/SMK/MA) tampaknya membutuhkan waktu yang lebih lama, paling cepat dalam lima tahun ke depan.
Seperti halnya indikator APS, indikator rata-rata lama sekolah di Sulsel juga memberikan gambaran yang hampir serupa. Meskipun rata-rata lama sekolah di Sulsel saat ini sudah mencapai 7,4 tahun, namun capaian tersebut masih jauh berada di bawah angka rata-rata nasional, yang saat ini sudah mencapai 7,7 tahun. Ini berarti bahwa rata-rata penduduk Sulsel hanya mampu menyelesaikan pendidikan kelas I SMP dan putus sekolah pada saat empat bulan menduduki bangku kelas II SMP. Yang agak mengkhawatirkan, kesenjangan (gap) antara capaian Sulsel dan Nasional juga tampak semakin merenggang dari tahun ke tahun. Jika situasi ini terus berlanjut, maka angka rata-rata lama sekolah di Sulsel akan tampak semakin buruk dibandingkan dengan angka nasional.
Dibandingkan dengan APS dan rata-rata lama sekolah, angka buta huruf merupakan indikator yang paling mengkhawatirkan. Pada tahun 2009, angka buta huruf penduduk berusia 15 tahun ke atas di Sulsel mencapai 12,98 persen . Artinya, setiap delapan penduduk di Sulsel, satu diantaranya buta huruf. Meskipun angka ini sudah lebih kecil dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, namun angka tersebut masih berada jauh di atas angka rata-rata nasional, yang saat ini hanya 7,42 persen. Bahkan secara relatif, angka tersebut telah menempatkan Sulsel pada posisi ketiga tertinggi di Indonesia, sesudah Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Capaian ketiga indikator tersebut di atas tampaknya bertolak belakang dengan besarnya anggaran yang digelontorkan untuk bidang pendidikan. Sejak tahun 2007, proporsi anggaran (baca: APBD) untuk bidang pendidikan sudah berada di atas 20 persen. Sejak tahun 2005, anggaran untuk bidang pendidikan meningkat rata-rata di atas 10 persen per tahun. Belum lagi jika dana APBN yang dialokasikan di Sulsel turut diperhitungkan, angkanya bisa mencapai trilyunan rupiah.
Ke depan, pemerintah daerah perlu memastikan bahwa seluruh anggaran yang dialokasikan untuk bidang pendidikan ”betul-betul bekerja” untuk mencapai sasaran-sasaran kinerja di bidang pendidikan. Peningkatan anggaran di bidang pendidikan harus dipastikan berjalan paralel dengan perbaikan APS, peningkatan rata-rata lama sekolah, dan penurunan angka buta huruf. Intinya, anggaran harus mampu menarik anak-anak yang putus sekolah untuk kembali ke bangku sekolah. Anggaran harus sanggup membantu orang miskin untuk turut serta  menikmati layanan pendidikan. Anggaran harus bisa ”memaksa” orang-orang yang buta huruf untuk menjadi melek huruf. Dan seterusnya... Sebab jika tidak, boleh jadi kita sedang berada pada situasi yang oleh Osborne dan Gaebler disebut sebagai tindakan ”membiayai kegagalan”.

 


Oleh : Agussalim
Sumber: http://agusjero.blogspot.com/2011/05/pendidikan.html
Enter your email address to get update from Pustaka Mallawa.
Print PDF
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »

Copyright © 2013. Pustaka Mallawa - All Rights Reserved | Modify by Pustaka Mallawa Powered by Blogger