Jihad di Nusantara Menggali Tradisi yang Hilang

Hari Pahlawan menyisakan banyak kenangan bagi rakyat Indonesia. Banyak peristiwa sebelum kemerdekaan yang patut dikenang, terutama bagi umat Islam Indonesia. Beragam perlawanan patriotik melawan kaum kafir, Belanda dan Portugis, muncul dari generasi Islam.

Salah satu contohnya, pejuang Islam dari Kesultanan Demak Bintoro. Sejarah mengenalnya dengan Pangeran Sabrang Lor, Pangeran yang menyeberangi lautan sebelah utara. Sebenarnya beliau memiliki nama yang diambil dari nama salah seorang nabi Allah, Adipati Yunus.  Bisa dikatakan beliaulah yang pertama kali mengibarkan bendera jihad melawan Portugis setelah Sultan Mahmoed, raja Aceh dikalahkan oleh Portugis pada tahun 1511.

Berawal dari ambisi Portugis untuk menyebarkan Kristen dan keserakahan mereka ingin menguasai Selat Malaka. Portugis mengacaukan jalur perdagangan Demak dan merampas rempah-rempah pedagang Muslim yang berniaga di Malaka.

KH. Saifuddin Zuhri, dalam bukunya, “Sejarah Kebangkitan Islam” menuturkan, “Sultan Demak dan para wali merasa terpanggil untuk berjihad; halus dihadapi dengan halus dan keras dihadapi dengan keras. Kalau orang-orang Portugis mengobarkan semangat perang salib, maka kesultanan Demak dan para wali mengobarkan semangat jihad, perang sabil.

Kalau ‘salib’ menjadi slogan kaum sana (Portugis), maka jihad ‘sabil’ menjadi slogan kaum sini. Menghadapi Portugis itu, orang-orang Demak memandangnya sebagai suatu jihad, untuk melindungi kawan-kawannya (muslim), harta benda, agama (Islam), nyawa, kehormatan dan generasi penerusnya.”

Tujuan akhir dari jihad mereka adalah antara dua kemuliaan; kemenangan dan kebebasan menjalankan syari’at Islam atau syahid sebagai syuhada’. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
 مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهيدٌ ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ ، وَمَنْ قتِلَ دُونَ دِينهِ فَهُوَ شَهِيدٌ ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ 
“Barangsiapa yang terbunuh untuk membela hartanya ia syahid, barangsiapa yang terbunuh karena membela darahnya (nyawanya) ia syahid, barangsiapa yang terbunuh karena membela diennya maka ia syahid dan barangsiapa yang terbunuh karena membela keluarganya maka ia syahid.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi –hasan shahih-)

Dua kali Pangeran Sabrang Lor memimpin jihad melawan Portugis dengan angkatan lautnya yang gagah perkasa. Dan pada serangan terakhir beliau syahid di laut, sebuah syahadah yang tinggi derajatnya.

Kemudian jihad melawan Belanda dilanjutkan oleh para sultan penerus beliau rhm. Diantaranya adik kandung beliau yaitu Sultan Trenggana yang bahu membahu dengan dua ulama; Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus dalam melawan penjajah Portugis.

Mujahid dari Timur
Tak hanya di Demak, gelora jihad juga berkobar di bagian timur Nusantara. Kepulauan Maluku, oleh para ahli sejarah diyakini sebagai nama yang diwariskan oleh para saudagar dari Arab yang menemukan kepulauan yang begitu indah dengan kekayaan alam yang luar biasa. Lalu mereka menyebut kepulauan ini dengan “maluk” berasal dari kata “milkun” artinya kepemilikan, yaitu kepulauan ini memiliki keindahan alam yang mempesona.

Teori lain mengatakan kata Maluku berasal dari kata “mulkun/mamaluk” artinya kepulauan itu didiami banyak raja. Sepertinya, makna kedua ini lebih tepat karena sesuai dengan keadaan di Kepulauan Maluku, setiap kepala desa disebut  sebagai “raja” sehingga banyak sekali raja di sana.

Kekayaan rempah-rempah Maluku menarik perhatian bangsa-bangsa Eropa, di antaranya adalah Portugis. Awal kedatangan Portugis di Maluku di sambut baik oleh Sultan Khairun dan Sultan Mansur, pemimpin Ternate dan Tidore. Karena de Mesquita sebagai Gubernur Portugis berjanji hanya datang untuk berdagang.

Namun kenyataannya, sangat mengecewakan, Portugis ternyata membawa para misionaris, salah satunya Franciscus Xaverius. Mereka berusaha mengkristenkan kaum muslimin dengan cara paksa. Perdagangan rempah-rempah rakyat dijarah paksa oleh Portugis. Dengan zhalim mereka menghukum rakyat Muslim Maluku.

Keadaan di atas membuat Sultan Khairun menyerukan jihad melawan penjajah Katholik Portugis. Pertempuranpun tidak dapat dielakkan, semua orang Kristen baik Portugis atau pribumi diusir dari Kesultanan Ternate, karena telah mengkhianati perjanjian. Peristiwa ini mengingatkan pengusiran Yahudi Bani Qainuqa’ dan Nadhir oleh Rasulullah SAW, karena pengkhianatan terhadap perjanjian dengan kaum muslimin di Madinah. Sejarah terulang.

Dengan semangat jihad fi sabilillah umat Islam Maluku mampu memukul Portugis. Kemudian Portugis meminta perundingan damai, sebuah strategi licik yang selalu dijalankan oleh orang-orang kafir ketika mereka kewalahan menghadapi kaum muslimin. Perjanjian damai diterima oleh Sultan Khairun, dengan syarat, seluruh orang Kristen harus keluar dari Ternate, sekaligus tidak ada lagi kegiatan Kristenisasi di Ternate.

Namun pengkhianatan kafir Portugis terulang. Saat resepsi peresmian perjanjian ini yang diadakan di rumah kediaman Gubernur de Mesquita, seorang opsir Portugis menikam Sultan Khairun dari belakang. Akibatnya beliau gugur beserta berikut beberapa pengawal yang beliau bawa. Hanya sedikit yang mampu melarikan diri karena memang saat itu mereka sedang lengah tidak ada persiapan perang. Inilah kelicikan orang-orang kafir, sifat yang terus terwariskan hingga akhir zaman.

Ada kelemahan dari pihak Siultan Khairun, mereka terlalu percaya pada musuh dan lengah, tidak bersiap-siaga. Padahal Allah telah memerintahkan untuk senantiasa waspada dari tipu daya orang-orang kafir:
وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ
Dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu semua.” (Q.S: An-Nisa’: 102)

Al-Wala’ wal Bara’

Jihad Sultan Khairun melawan penjajah dilanjutkan oleh putranya, Sultan Babullah. Beliau menyentakkan pedang pusaka warisan ayahnya dan mengambil bai’at (sumpah setia) dari umat Islam Ternate, untuk berjihad. “Seluruh rakyat yang hadir dalam pelantikan Sultan ini, menyatakan kesetiaannya (bai’at) dengan penuh ruhul jihad dan mati syahid,” tulis sejarawan Islam, Abdul Qadir dalam buku “Perang Sabil Versus Perang Salib.”

Pasukan Islam Ternate mulai menyerang Portugis-Katolik dan Raja Bacan yang telah memberikan wala’nya (loyalnya) kepada Portugis. Walau pernah ada hubungan kerabat dengan Raja Bacan, Sultan Babullah tetap memasukkan Raja Bacan dalam barisan musuh, karena ia telah berpihak kepada tentara kafir, Portugis. Inilah tuntutan iman (al-wala’ wal bara’) sesungguhnya.
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan[1462] yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (al-Mujadilah: 22)

Ketika Jihad, cinta mati syahid dan aqidah al-Wala’ wal Baro’ melekat dalam hati seorang pejuang, kemenangan dari Allah segera terwujud. Sejarawan Abdul Qadir bersaksi, “Berkat semangat mati syahid, pasukan Islam Ternate berhasil membakar benteng pertahanan Portugis di Ambon. Dan umat Kristiani Ambon yang panik, takut disembelih pasukan Islam, dijamin keamanannya oleh Sultan Babullah, diampuni, tidak dipaksa masuk Islam, asalkan mereka sudi hidup damai dibawah bimbingan Kesultanan Islam Ternate.”

Sedangkan tentara dan misionaris Portugis yang terjebak di benteng tidak berani keluar, penyakit dan kelaparan menimpa mereka. Sultan Babullah pun menjanjikan kebebasan bagi mereka dengan syarat, mereka mengakui kekalahan dan menyerahkan Gubernur de Mesquita ke pasukan Islam untuk diqishash.

Akhirnya pada tahun 1575 M, tentara Portugis menyerahkan diri kepada pasukan Islam Ternate. Dan berkibarlah bendera Islam di benteng itu menggantikan bendera Portugis. Demikianlah, jihad, cinta mati syahid dan al-Wala’ wal Bara’ telah menjadi budaya yang mendarah daging dalam tubuh pejuang Islam sejak dulu kala. Menghapus ketiga perkara ini, sama halnya menggilas budaya bangsa ini dan mencabut semangat anti penjajahannya.

Adu Domba
Masih di kawasan timur Nusantara, seorang pejuang Islam muncul menyatukan Sultan-Sultan Makasar dan Bugis dibawah panji-panji Islam dan menerapkan syari’at Islam secara penuh. Kesatuan ini menumbuhkan kekuatan maritim yang menyaingi kekuatan Belanda. Hal ini membuat Belanda menyulut peperangan dengan Sultan Hasanuddin.

Pada tahun 1633 pasukan Kristen Belanda mengepung pelabuhan Belanda dengan jalan blokade dan sabotase. Namun kecintaan terhadap jihad telah melahirkan kekuatan luar biasa dalam jiwa Muslim Makasar, sehingga dengan mudah mematahkan blokade Belanda. Hal ini memaksa Belanda untuk meminta perdamaian dengan Sultan Hasanuddin.

Namun pada tahun 1654 Belanda berkhianat, kembali mengerahkan armada yang sangat besar untuk menyerang Makasar. Tetapi untuk kedua kalinya pasukan Islam berhasil memukul mundur armada Kristen-Belanda.

Lalu Belanda membujuk beberapa Sultan untuk bekerja sama, Gubernur Jenderal Brouwer berhasil membujuk pemimpin Bone Aru Palaka untuk sama-sama menyerang Sultan Hasanudin, dengan imbalan Aru Palaka akan diangkat menjadi Sultan Bone secara penuh dan bersahabat hanya dengan Belanda. Tentang jalannya peperangan ini, sejarawan Abdul Qadir bertutur, “Pada tahun 1666 armada laut Belanda yang berkekuatan 20 buah kapal dengan prajurit 600 orang, dibawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman menyerang pasukan Makasar dari laut dan pasukan Aru Palaka Bone yang dipersenjatai oleh Belanda menyerang dari arah darat melalui Soppeng. Menghadapi serangan dari dua jurusan pasukan Sultan Hasanuddin bertekad bulat untuk mati syahid, mempertahankan Islam dan kehormatan kaum muslimin. Pertempuran dahsyat terjadi, perang tanding antara pasukan Makasar dengan pasukan Aru Palaka berjalan sangat mengerikan dan pasukan Belanda secara gencar menembakkan meriam-meriamnya dari laut, sehingga korban berjatuhan tak terhingga banyaknya, terutama di pihak pasukan Makasar.

Dalam kondisi yang demikian, Sultan Hasanuddin mengundurkan pasukannya sambil melakukan konsolidasi yang lebih baik. Setelah konsolidasi dilakukan, pertempuran dimulai lagi dengan penuh semangat mati syahid. Tetapi karena kekuatan tak seimbang, baik dalam bentuk jumlah pasukan maupun persenjataan, akhirnya pada tahun 1667 menyerahlah Sultan Hasanuddin. Penyerahan Sultan ini tertuang dalam Perjanjian Bongaya"

Menurut sejarawan Nabilah Lubis, dampak dari perjanjian Bongaya adalah syari’at Islam tidak berlaku lagi dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan, dan dikembangkan lagi maksiat, seperti; judi, sabung ayam, minuman keras ballo, madat dan pemujaan berhala.

Kekalahan umat Islam di Makasar ini mengakibatkan sebagian panglimanya memilih hijrah dan bergabung dengan pejuang Islam di Jawa. Misalnya, Kraeng Galesung bergabung dengan Trunojoyo di Jawa Timur, ulama sekaligus panglima Syaikh Yusuf bergabung dengan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, untuk melawan Belanda. Syaikh Yusuf diambil menantu sekaligus diangkat sebagai mufti oleh Sultan Ageng.

Jihad melawan Belanda berawal dari perampokan kapal-kapal Banten yang pulang dari perniagaan oleh Belanda. Perang pun tidak bisa dihindari, Belanda yang dibantu oleh Sultan Haji, putra Sultan Ageng yang berkhianat diserang oleh pasukan Islam dibawah pimpinan Sultan Ageng.

Walau Sultan Haji darah dagingnya, ia tetap dimasukan sebagai musuh karena telah berwala’ (loyal) kepada orang-orang kafir Belanda. Di sinilah nilai aqidah tertanam kuat, bahwa siapa saja yang loyal kepada orang kafir, maka ia dihukumi/diperangi sebagaimana orang kafir.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (al-Maidah:51)

Jihad melawan penjajah kafir di Banten sangat lama dan sangat merugikan pihak Belanda. Walau pada akhirnya Belanda berhasil memadamkan jihad ini, namun setidaknya para pahlawan Banten menegaskan bahwa jihad dan al-Wala’ wal Bara’ adalah ideologi dan tradisi budaya mereka. *(Mas’ud)